Kondisi pandemi Covid-19 dapat memaksa keluarga nelayan untuk mengubah pola hidup menjadi lebih hemat dan efisien. Hal ini disebabkan oleh pendapatan nelayan yang menurun, karena frekuensi aktivitas penangkapan ikan berkurang. Kondisi yang cukup beresiko dari paparan Covid-19, ditambah kondisi gelombang laut tinggi akibat musim peralihan dari musim barat ke musim timur, membuat para nelayan tidak berdaya.
Ada dua pilihan yang bisa dilakukan nelayan dalam kondisi serba sulit ini. Pertama, menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungan. Kedua, melakukan perlawanan dengan kekuatan untuk tetap melakukan penangkapan ikan.
Salah satu modal besar yang dimiliki nelayan kita adalah budaya gotong royong. Negara-negara maju, sudah memberi contoh bagaimana gotong royong berperan besar dalam kemajuan negaranya. Kita sebut saja Korea Selatan, yang terkenal dengan Gerakan Saemaul Undong atau gerakan membangun desa maju, modalnya adalah gerakan gotong royong. Bila dicermati secara detail, para generasi pendahulu Korea Selatan, melakukan gotong royong dengan semangat untuk memberikan masa depan yang lebih baik untuk generasi penerus, yaitu anak cucunya.
Semangat itulah yang membuat Korea Selatan sekarang menjadi negara maju hingga anak cucunya sudah dapat menikmati hasilnya. Walaupun sudah menjadi negara maju dan masyarakat hidup sejahtera, semangat gotong royong dan kerja keras tetap jalan terus, diwariskan dari nenek moyangnya.
Semangat Saemaul Undong di Korea Selatan juga dimiliki oleh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa. Budaya gotong royong dan padat karya melekat pada masyarakat Jawa, walaupun ada indikasi semangat gotong royong sudah mulai luntur. Budaya ini seharusnya jangan sampai luntur, apalagi hilang.
Gotong royong seharusnya dilestarikan dan dijaga untuk menjadi modal memajukan negara. Gerakan gotong royong harus dibudayakan dari kalangan bawah atau akar rumput sampai ke pimpinan tertinggi. Budaya saling bantu, kesetiakawanan, kebersamaan, kepedulian, dan lain-lain. Dibutuhkan konsistensi dan komitmen untuk mewujudkan dan menjamin keberlangsungannya.
Sebagai kepedulian pada sejawat nelayan, Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (DPD HNSI) DIY, menyerahkan bantuan berupa sembako, masker, dan sabun cuci. Bantuan tersebut diserahkan langsung oleh ketua DPD HNSI DIY kepada ketua DPC HNSI Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo. Sedangkan, Dinas Kelautan dan Perikanan DIY memberi bantuan berupa masker dan sabun cuci tangan yang diserahkan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) diterima ketua kelompok nelayan.
Agenda kearifan lokal yang sudah disepakati para nelayan sepanjang pesisir DIY berjalan seperti biasa. Seperti setiap hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, nelayan melakukan pertemuan rutin dan memperbaiki alat tangkap. Bedanya dengan sebelum pandemi, kegiatan harus dilaksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan.
Jika dibandingkan dengan kehidupan masyarakat pada umumnya, tingkat sosial nelayan tergolong tinggi. Tingginya jiwa sosial nelayan terbukti ketika nelayan kembali dari laut. Tidak jarang para nelayan membagi-bagikan hasil tangkapannya kepada tetangga dan nelayan lain sebagai bentuk kesetiakawanan. Budaya ini sudah berlangsung secara turun-temurun.
Selain itu, kegiatan sosial yang ada di lingkungan masyarakat nelayan, antara lain saling membantu keperluan sehari-hari, bergotong royong mengerjakan pekerjaan, memberi sumbangan saat ada yang mengadakan hajatan, dan lain-lain.
Seseorang dengan mata pencaharian sebagai nelayan, tentu saja tidak lepas dari jalinan hubungan sosial dalam berbagai tindakan yang berkaitan dengan mata pencaharian hidupnya. Pemahaman terhadap jaringan sosial dalam kegiatan perikanan sangat berguna untuk melihat strategi nelayan di dalam pemanfaatan sumber daya laut.
Jaringan sosial yang dikembangkan nelayan pada dasarnya merupakan bagian dari adaptasi nelayan. Strategi jaringan sosial merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan-kebutuhan nelayan untuk mengembangkan usaha perikanan. Kebutuhan modal, sarana penangkapan ikan, dan pemasaran hasil tangkapan hanya dapat dipenuhi melalui pembentukan jaringan sosial.
Masalah pokok yang muncul di kalangan nelayan terkait isu sosial nelayan, yaitu persoalan ketidakmampuan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya serta kondisi keterasingan, kerentanan, dan kemiskinan. Persoalan-persoalan yang dihadapi para nelayan seperti permodalan, rendahnya keterampilan, kurangnya kepedulian pada mutu ikan, penguasaan sumber daya, dan sulitnya pemenuhan kebutuhan pokok.
Salah satu cara untuk menuntaskan berbagai permasalahan yang ada di lingkungan nelayan adalah menghapus pola hubungan patron client. Pola hubungan patron client atau hubungan ‘buruh-majikan’ yang berkembang di lingkungan nelayan harus diubah menjadi pola partnership atau ‘kemitraan’. Dengan pola hubungan kemitraan, akan tercipta simbiosis mutualisme yang menguntungkan semua pihak.
Pemahaman tentang identitas masyarakat nelayan penting untuk dikembangkan. Setiap pendekatan sumber daya masyarakat memerlukan pengertian tentang pola-pola interaksi sosial yang berlangsung di antara kelompok masyarakat. Pola interaksi ini yang mendukung berbagai lembaga dan organisasi sosial. Sementara, identitas merupakan isu yang sangat penting dalam setiap interaksi sosial.
Sebagai contoh, koperasi perikanan nelayan yang dibentuk seringkali menyingkirkan pedagang perantara yang secara umum dianggap mengeksploitasi nelayan. Kenyataannya, koperasi perikanan yang tidak mampu bersaing dengan pedagang perantara yang sudah mapan. Pedagang perantara, mampu memberikan pelayanan pemasaran yang efisien dan pelayanan lainnya kepada nelayan. Namun, pedagang perantara lebih banyak melakukan fungsi sebagai patron daripada sebagai mitra.
Apabila kita belajar dari negara yang maju di bidang perikanan, umumnya koperasi perikanannya juga maju, seperti Korea Selatan, Jepang, Norwegia, China, dan sebagainya. Untuk mengangkat kehidupan nelayan yang lebih baik, tidak ada jalan lain kecuali mengembangkan koperasi perikanan.